Allah telah memberi modal yang sama kepada setiap orang berupa waktu 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, 30 hari dalam sebulan, dan 12 bulan dalam setahun. Jika setiap orang mempunyai modal yang sama, bagaimana caranya agar kita menjadi pedagang yang memperoleh keuntungan luar biasa di akhir perdagangan ini?
Apakah
orang yang pandai mengelola waktu adalah orang yang waktunya habis untuk
menekuni pelajaran-pelajaran kuliah? Ataukah orang yang sibuk bekerja dan mendapat uang yang banyak? Ataukah orang
yang sibuk berorganisasi? Ataukah mereka yang lelah dan letih berpeluh
berkeringat semata-mata untuk dunia?
Dari
Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhu, dia berkata,
“Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallammemgang
pundakku, lalu bersabda, ‘Jadikanlah engkau di dunia ini
seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.’” Lalu Ibnu `Umar radhiyallahu
`anhu berkata, “Jika engkau di waktu sore, maka janganlah engkau menunggu pagi,
dan jika engkau di waktu pagi, maka jangnlah menunggu sore, dan pergunakanlah
waktu sehatmu sebelum engkau sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu mati.” (HR.
Bukhari).
Jangan
kita habiskan hidup ini untuk mengejar jabatan, kedudukan, karir dan prestasi
duniawi, sedangkan persoalan mendasar dalam agama justru kita sepelekan.
Sungguh merupakan pengaturan waktu yang buruk ketika seorang muslim
menghabiskan hampir seluruh waktunya dalam sehari untuk dunia sedangkan waktu
untuk mengurusi akhiratnya hanya dia sisihkan dari sisa-sisa waktu yang
terselip.
“Katakanlah,
‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (QS.
Al-Kahfi: 104)
Alangkah jeli
Imam Syafi’i rahimahullah tatkala berkata, “Jika kamu khawatir terjangkiti ujub
atau merasa banyak amal, maka ingatlah tiga hal; ridha siapa yang kamu cari,
kenikmatan manakah yang kamu cari, dan dari bahaya manakah kamu hendak lari.
Maka barang siapa merenungkan tiga hal tersebut, niscaya dia akan memandang
remeh apa yang telah dicapainya.”
Pertanyaan
pertama, tentu akan kita
jawab bahwa ridha Allah yang kita cari. Tapi apakah setiap langkah, gerak-gerik
kita, diam dan bicara kita menunjukkan sebagai orang yang menjadikan ridha
Allah sebagai tujuannya? Bandingkanlah dengan usaha dan pengorbanan kita saat
ingin mendapatkan ridha manusia; atasan, pemimpin, penguasa dan manusia seluruhnya. Niscaya kita akan menyadari, bahwa apa yang kita lakukan
untuk keridhaan manusia dan keridhaan nafsu masih lebih dominan.
Pertanyaan
kedua tentu akan kita jawab bahwa
kenikmatan jannahlah yang kita cari. Tapi cobalah membandingkan; kerja kita
untuk dunia dan kerja kita untuk akhirat, manakah yang lebih menonjol dari sisi
kualitas maupun kuantitasnya? Padahal kerja akhirat kita untuk kenikmatan tiada
tara dan tak ada habisnya.
Pertanyaan
ketiga, tentu kita akan
menjawab bahwa kita lari dari bahaya neraka. Lagi-lagi kita perlu mengoreksi
secara jujur. Seberapa gigih usaha kita dalam menghindari neraka. Bandingkanlah
dengan usaha kita tatkala takut dan lari dari penyakit, lari dari kemiskinan,
atau ketika takut akan hilangnya kehormatan di mata manusia. Dengan memikirkan
tiga hal itu, kita akan sadar betapa amal kita belum seberapa.
Sesungguhnya
ilmu dicari untuk diamalkan, bukan hanya untuk menambah tumpukan catatan.
Jangan lupa mengevaluasi diri (muhasabah) sebelum tidur. Perbanyak istighfar
dan dzikir kepada Allah.
“Teruslah Bermimpi
Tetapi Jangan Lupa Untuk Mewujudkannya, Bangunlah Dan Wujudkanlah.... Sekarang,
Tinggalkan Beban dan Bawalah Bekal Perjalanan....”
Sumber Bacaan:
http://www.dakwatuna.com