Pages

Senin, 22 Juli 2013

KEBERUNTUNGAN


Allah telah memberi modal yang sama kepada setiap orang berupa waktu 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, 30 hari dalam sebulan, dan 12 bulan dalam setahun. Jika setiap orang mempunyai modal yang sama, bagaimana caranya agar kita menjadi pedagang yang memperoleh keuntungan luar biasa di akhir perdagangan ini?
Apakah orang yang pandai mengelola waktu adalah orang yang waktunya habis untuk menekuni pelajaran-pelajaran kuliah? Ataukah orang yang sibuk bekerja dan mendapat uang yang banyak? Ataukah orang yang sibuk berorganisasi? Ataukah mereka yang lelah dan letih berpeluh berkeringat semata-mata untuk dunia?

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallammemgang pundakku, lalu bersabda, ‘Jadikanlah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.’” Lalu Ibnu `Umar radhiyallahu `anhu berkata, “Jika engkau di waktu sore, maka janganlah engkau menunggu pagi, dan jika engkau di waktu pagi, maka jangnlah menunggu sore, dan pergunakanlah waktu sehatmu sebelum engkau sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu mati.” (HR. Bukhari).

Jangan kita habiskan hidup ini untuk mengejar jabatan, kedudukan, karir dan prestasi duniawi, sedangkan persoalan mendasar dalam agama justru kita sepelekan. Sungguh merupakan pengaturan waktu yang buruk ketika seorang muslim menghabiskan hampir seluruh waktunya dalam sehari untuk dunia sedangkan waktu untuk mengurusi akhiratnya hanya dia sisihkan dari sisa-sisa waktu yang terselip.

“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (QS. Al-Kahfi: 104)

Alangkah jeli Imam Syafi’i rahimahullah tatkala berkata, “Jika kamu khawatir terjangkiti ujub atau merasa banyak amal, maka ingatlah tiga hal; ridha siapa yang kamu cari, kenikmatan manakah yang kamu cari, dan dari bahaya manakah kamu hendak lari. Maka barang siapa merenungkan tiga hal tersebut, niscaya dia akan memandang remeh apa yang telah dicapainya.”

Pertanyaan pertama, tentu akan kita jawab bahwa ridha Allah yang kita cari. Tapi apakah setiap langkah, gerak-gerik kita, diam dan bicara kita menunjukkan sebagai orang yang menjadikan ridha Allah sebagai tujuannya? Bandingkanlah dengan usaha dan pengorbanan kita saat ingin mendapatkan ridha manusia; atasan, pemimpin, penguasa dan manusia seluruhnya. Niscaya kita akan menyadari, bahwa apa yang kita lakukan untuk keridhaan manusia dan keridhaan nafsu masih lebih dominan.

Pertanyaan kedua tentu akan kita jawab bahwa kenikmatan jannahlah yang kita cari. Tapi cobalah membandingkan; kerja kita untuk dunia dan kerja kita untuk akhirat, manakah yang lebih menonjol dari sisi kualitas maupun kuantitasnya? Padahal kerja akhirat kita untuk kenikmatan tiada tara dan tak ada habisnya.

Pertanyaan ketiga, tentu kita akan menjawab bahwa kita lari dari bahaya neraka. Lagi-lagi kita perlu mengoreksi secara jujur. Seberapa gigih usaha kita dalam menghindari neraka. Bandingkanlah dengan usaha kita tatkala takut dan lari dari penyakit, lari dari kemiskinan, atau ketika takut akan hilangnya kehormatan di mata manusia. Dengan memikirkan tiga hal itu, kita akan sadar betapa amal kita belum seberapa.


Sesungguhnya ilmu dicari untuk diamalkan, bukan hanya untuk menambah tumpukan catatan. Jangan lupa mengevaluasi diri (muhasabah) sebelum tidur. Perbanyak istighfar dan dzikir kepada Allah.

“Teruslah Bermimpi Tetapi Jangan Lupa Untuk Mewujudkannya, Bangunlah Dan Wujudkanlah.... Sekarang, Tinggalkan Beban dan Bawalah Bekal Perjalanan....”

Sumber Bacaan: 
http://www.dakwatuna.com

MUHASABAH

Bismillaahirrohmaanirrohiim...

Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah SAW., bahwa beliau berkata, “Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT”. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)

Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.

[Kegagalan] Disebut oleh Rasulullah saw, dengan ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, ’berangan-angan terhadap Allah.’ Maksudnya, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut: Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.

Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi
Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar menjadi orang yang pandai dan sukses.

[Aspek Ibadah]
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]

[Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki]
Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)

[Aspek Kehidupan Sosial Keislaman]
Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:
“Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.

[Aspek Dakwah]
Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.
Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek dakwah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu dakwah itu sendiri.
Evaluasi pada bidang dakwah ini jika dijabarkan, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi dakwah dalam bidang dakwah ‘ammah, evaluasi dakwah dalam bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]


“Haasibuanfusakum qobla antuhaasib” –Umar bin Khatab-


Sumber Bacaan:
www.dakwatuna.com