Pages

Kamis, 22 Mei 2014

KULIAH LAPANGAN JURUSAN PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN PADA KANTOR BADAN ARSIP DAN PERPUSTAKAAN PROVINSI JAWA TENGAH FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014


Rabu 21 Mei 2014 sejumlah 58 Mahasiswa Pendidikan Administrasi Perkantoran Angkatan 2011 beserta dua dosen pendamping, Bapak Marimin dan Ibu Ismiyati berkunjung ke Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah. Rombongan diterima oleh Ibu Retno Puspitasari Kepala Sub Bidang Layanan sekitar pukul 08.30 WIB
Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang Struktur Organisasi Badan Arpus Jateng, Pengelolaan Arsip sejak arsip tercipta, penyimpanan, penemuan kembali dan penyusutan serta Program Kegiatan Badan Arpus. Selain pengetahuan juga untuk menambah wawasan serta pengalaman mahasiswa secara langsung dan membandingkan antara teori dan praktik.
Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah adalah Lembaga Kearsipan yang berada dibawah pemerintahan provinsi  Jawa Tengah setingkat badan dengan pimpinan Eselon II. Masing-masing Kabupaten/Kota memiliki lembaga kearsipan dibawah pemerintahan kabupaten/kota itu sendiri setingkat kantor dengan pimpinan Eselon III.
Badan Arpus Jateng memiliki Visi: “Arsip Dan Perpustakaan Sebagai Sumber Informasi Dan Ilmu Pengetahuan Yang Berkualitas Dan Berdaya Saing”. Ibu Retno memaparkan ada beberapa kendala dalam penyelenggaraan kegiatan kearsipan, yaitu:
1.       Dukungan Kebijakan Belum Maksimal
Banyak pimpinan instansi belum menyadari bahwa arsip sangat penting untuk dikelola. Padahal untuk pengelolaan arsip membutuhkan anggaran. Tetapi pimpinan belum berpihak untuk
2.       Sumber Daya Aparatur masih terbatas
20 fungsional arsiparis di Badan Arsip masih dirasa kurang karena banyak pembinaan di kabupaten dan SKPD, mengelola arsip dan pelaksanaan bimbingan teknis. Di tingkat SKPD hanya ada 2 instansi yang mempunyai fungsional arsiparis yaitu dinas transmigrasi dan bappeda. Sedangkan lainnya hanya memperkerjakan tenaga kearsipan yang bukan berlatar belakang pendidikan bidang kearsipan.
3.       Pengelolaan belum memadai
Hampir di semua kantor pengelolaan arsip nya dikatakan buruk, tidak hanya di Jawa Tengah. Hal ini karena masih minimnya kesadaran pentingnya penataan arsip dengan baik dan benar.  Seorang tokoh dunia mengatakan bahwa indikator kemajuan negara juga bisa dilihat dari sisi pengelolaan arsipnya. Setiap individu pasti menghasilkan arsip mulai dari lahir sampai meninggal
4.       Kesadaran masih rendah
Kesadaran pentingnya pengelolaan arsip di Indonesia tergolong masih rendah dibandingkan dengan negara maju.
5.       Sarpras masih minim
Terkadang masih banyak kantor yang masih minim sarpras kearsipan sehingga tidak mendukung penyelenggaraannya.
Beberapa produk hukum yang mengatur tentang Kearsipan yaitu:
1) UU No. 43 Th 2009 tentang Kearsipan
2) UU No. 43 Th 2007 tentang Perpustakaan
3) PP No. 28 Th 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 43 Th 2009 tentang Kearsipan
4) Peraturan Ka. ANRI No. 8 Th 2009 tentang Penyelenggaraan Kearsipan di Prov Jateng
5) Perda Prov Jateng No. 7 Th 2008 ttg Organisasi dan Tata Kerja
6) Per. Gub. Jateng No. 87Th 2008 ttg Penjabaran Tupoksi Barpus Prov Jateng
7) Instruksi Gub Jateng No. 045/20920/2007 ttg Pelaksanaan Tertib Arsip di Lingkungan Pem Prov Jateng
8) Pergub Jateng ttg Standardisasi Biaya Kegiatan dan Honorarium, biaya pemeliharaan dan standardisasi harga pengadaan barang/ jasa Kebutuhan PemProv Jateng
9) Perda Prov Jateng No. 1 Th 2014 ttg Penyelenggaraan 
Kurang lebih ada 13 pedoman teknis kearsipan yang telah dibuat Badan Arsip Jateng. Berdasarkan peraturan tersebut diatas dibuat program kerja sebanyak 11 program kerja yang meliputi 4 program kesekretariatan, 4 program urusan kearsipan dan 3 program urusan perpustakaan.
4 Program Kearsipan yaitu:
1) Program perbaikan sistem administrasi kearsipan
2) Program penyelamatan dan pelestarian dokumen/arsip daerah
3) Program pemasyarakatan kearsipan kepada masyarakat
4) Program peningkatan kualitas pelayanan informasi

3 Program Perpustakaan:
1)  Program pengembangan budaya baca
2) Program pembinaan dan peningkatan kapasitas perpustakaan
3)  Program penyelematan dan pelestarian koleksi perpustakaan

Berdasarkan program-program tersebut kemudian di-breakdown menjadi 60 kegiatan, 26 kegiatan kesekretariatan, 15 kegiatan kearsipan dan 19 kegiatan perpustakaan. Adapun 15 kegiatan kearsipan itu sendiri meliputi: pembenahan arsip, pedoman arsip, pembinaan arsip, Sistem Jaringan Informasi Kearsipan (SJIK) Arsip, Sumber Daya Aparatur Arsip, Evaluasi Arsip, Akuisisi Arsip, Kerjasama Arsip, Program Arsip Vital, Kualitas Informasi, Penyimpanan Arsip, SarPras Arsip, Digitalisasi Arsip, Pameran Arsip dan Layanan Informasi Arsip. 
Dalam melaksanakan tugas, Bapusip Jateng didukung SDM dengan PNS sejumlah 188 orang PNS (per 1 April 2014). Terdiri dari 25 orang Pejabat Struktural, 20 orang Arsiparis, 28 Pustakawan dan 116 Staf Umum. Bapusip Jateng dipimpin oleh seorang kepala badan eselon II, dibawahnya ada 7 eselon III terdiri dari 1 sekretaris, 5 kepala bidang dan 1 kepala Unit Pelaksana Teknis. Dari masing-masing eselon III terdiri dari 2 eselon IV kecuali untuk sekretariat dan UPT. 5 bidang tersebut adalah Bidang Pembinaan dan Pengawasan,  Bidang Akuisisi dan Pengolahan, Bidang Pelestarian dan Preservasi, Bidang Layanan dan Kemasyarakatan, Bidang Pengembangan dan Hubungan antar Lembaga.
Terkait dengan Sarpras Kearsipan di Bapusip, ada 4 gedung, yaitu Gedung A, B, C  dan D. Gedung A merupakan gedung perkantoran, gedung B ruang simpan arsip statis. Di lantai 1 terdapat Cool Room yaitu Ruang simpan yang suhunya dibawah 15 derajat untuk menyimpan arsip audio visual. Masing-masing jenis arsip harus disesuaikan suhunya. Gedung C untuk menyimpan arsip Inaktif dari SKPD se provinsi Jawa Tengah.
Sarpras penyimpanan yang digunakan adalah Roll O Pact dan Vertical Filing Cab untuk menyimpan peta. Arsip tekstual ada sekitar 65.000 box. Arsip non tekstual, video, film, micro film, dan gambar kearsitekturan. Arsip tertua tercipta tahun 1850 adalah arsip tertua dari karesidenan Semarang arsip dari Twede Water Staat (Pekerjaan Umum zaman Belanda) yang berisi tentang pembangunan infrastruktur di Jawa Tengah pada abad itu. Istimewanya arsip peninggalan Belanda lengkap, misalnya berkas Pembangunan itu dibahas dari anggaran, gambar teknik sampai dengan alasan mengapa dibangun ditempat itu dan AMDAL nya.
Adapun asal arsip adalah dari berbagai instansi SKPD di Prov Jateng, LP seluruh Jawa Tengah, Eks-Departemen Penerangan, Eks-Dep Transmigrasi se Jateng, Pabrik Gula di Jateng dan arsip perorangan seperti tokoh budayawan Gesang dan Waljinah. Tidak hanya tokoh budayawan juga tokoh sejarah yang berjasa untuk bangsa Indonesia.  Badan Arsip Jateng mendapat prestasi sebagai lembaga kearsipan provinsi terbaik dan terakreditasi A se Indonesia pada tahun 2013.
Sesi tanya Jawab, pertanyaan pertama dari Ana Khalida Khasanah, menanyakan tentang E-Arsip. Menurut Ibu Retno, istilah E-Arsip kurang tepat, lebih tepatnya adalah otomasi kearsipan atau komputerisasi, dalam lingkup Badan Arsip Jateng menggunakan SJIK yaitu pengelolaannya berbasis komputer. Jadi untuk surat masuk di Badan Arpus Jateng langsung input di website internal jadi kemudian diprint dan diedarkan. Untuk program lebih lanjut, Arpus merencanakan untuk lebih paperless, artinya surat yang diterima discan terlebih dahulu untuk diteruskan kepada pimpinan, dan untuk disposisi dan tindak lanjut menggunakan surat yang sudah discan tadi. Selain itu dalam layanan pencarian arsip juga sudah menerapkan otomasi. E-Arsip merujuk pada digitalisasi arsip artinya untuk membaca membutuhkan alat elektronik untuk membaca.Kegiatan Pameran biasanya bekerjasama dengan museum atau lembaga kearsipan kabupaten untuk menjalankan program sadar arsip melalui mobil sadar arsip dengan memutar film tentang kearsipan dan bagaimana mengelola arsip baik secara manual maupun digitalisasi.
Pertanyaan kedua dari Amin Wasono dalam hal pemusnahan arsip. Dalam pemusnahan arsip harus sesuai dengan pedoman, undang-undang, PP yang sesuai prosedur. Dalam pemusnahan harus dilakukan penilaian dulu mulai dari melihat jadwal retensi arsip, hasil penilaian diajukan kepada instansi terkait, apakah disetujui untuk dihapuskan atau tidak, jika setuju dihapus maka ditentukan harinya dan disiapkan berita acaranya dengan disaksikan perwakilan dari instansi terkait. Adapun cara pemusnahannya bisa dengan dibakar atau dicacah. Dicacah dengan bantuan perusahaan kertas.  Untuk arsip yang usianya lebih dari 10 tahun harus mendapat persetujuan dari ANRI, jika ada kaitannya dengan kepegawaian harus disetujui BKN , misal terkait keuangan berarti harus mendapat persetujuan BPK. Tujuan pencacahan adalah untuk menghilangkan informasi. Hasil penjualan pencacahan uangnya masuk ke kas daerah.
Pertanyaan ketiga dari Aan Ikhsananato, Badan Arsip bekerjasama dengan perguruan tinggi seperti Undip, Unhas, UGM untuk SDM D3 Kearsipan dan LAN untuk S1. Untuk non formalnya, diklat dilakukan kepada pegawai berupa bimbingan teknis tentang kearsipan. Terkait dengan kearsipan desa ada program Arsip masuk Desa, dengan melakukan bimbingan teknis untuk sekretaris desa, membantu sarpras kearsipan untuk desa. Untuk peminjaman arsip, tidak boleh dibawa pulang, ada ruang baca, dibolehkan selama 3 hari. Jasa fotocopy dan scan untuk mahasiswa Rp 500 per lembar, peneliti umum  Rp 1500 peneliti asing Rp 3000 karena arsip yang disimpan hanya ada di Badan Arsip dan terkait dengan biaya perawatan arsip cukup mahal.
Setelah mendapatkan materi profil Badan Arsip dan Perpustakaan Jawa Tengah, rombongan berkeliling dengan didampingi oleh Fungsional Arsiparis, Ibu Yayuk dan satu orang fungsional arsiparis  menuju Ruang Pemutaran Video Ruang penerimaan surat, Ruang unit kearsipan utama, ruang simpan arsip, ruang pameran arsip dan ruang visualisasi arsip.
Pengurusan surat menggunakan asas satu pintu sentralistik. Khusus untuk surat masuk dengan aplikasi sistem kearsipan dinamis. Tetapi surat keluar masih menggunakan kartu kendali dan buku agenda. Kode klasifikasi disesuaikan dengan pedoman kode klasifikasi yang telah ditentukan. Kartu kendali yang digunakan ada 3 warna, putih, kuning dan merah. Putih sebagai pengganti surat disimpan di unit kearsipan, karena surat asli diberikan kepada unit pengolah bersangkutan, kartu kendali merah selalu mengikuti surat. Kuning sebagai pengganti buku ekspedisi, larinya kemana surat tersebut diketahui dari kartu kendali kuning. Jadi unit kearsipan menyimpan kartu kendali putih dan kuning.
Secara umum isi dari video yang diputar memuat beberapa hal yaitu: mekanisme pengurusan surat masuk dan surat keluar, pengendalian arsip dinamis (aktif), pengelolaan arsip inaktif, pengelolaan arsip statis dan pemusnahan arsip. Terakhir kali pesan penutup dari kunjungan ini adalah ARSIP “Amankan, Rawatlah, Simpanlah, Informasikan, Pemanfaatan”.

Semoga Bermanfaat :)

Anis Susanti

Selasa, 20 Mei 2014

PANGAN LOKAL DI MATA MAHASISWA


Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. Kata lokal merujuk pada daerah atau wilayah tertentu saja, artinya ada karakter spesifik dari makanan yang dihasilkan suatu daerah tertentu. Seperti yang kita ketahui bahwa setiap belahan bumi yang ada di Indonesia masing-masing mempunyai dominasi potensi alam yang berbeda-beda. Jawa, merupakan pulau yang lebih berpotensi di bidang pertanian. Sumatera, mendukung ecotourism karena kekayaan budaya dan wisata alamnya. Kalimantan lebih berpotensi sebagai sumber daya hutan Indonesia. Sulawesi dan Maluku yang lebih dominan dengan potensi kelautan dan perikanannya. Papua dengan sektor pertambangannya, sudah mampu memberikan kontribusi lebih dari 50% perekonomian dengan tembaga, emas, minyak dan gas. Melihat perbedaan potensi tersebut sudah pasti setiap daerah memiliki potensi sumber bahan pangan yang berbeda pula.  Selama ini masyarakat beranggapan bahwa pangan lokal identik dengan makanan rakyat menengah kebawah yang dapat diperoleh dengan harga yang murah. Masyarakat secara umum lebih familiar dengan kata Jajanan Pasar atau Makanan Kaki Lima daripada Pangan Lokal. Kembali lagi pada makna pangan lokal itu sendiri, pangan lokal merupakan pangan yang diolah dari Sumber Bahan Pangan yang ada di Indonesia dan diolah oleh Sumber Daya Manusia Indonesia, jadi tidak hanya sebatas jajanan pasar atau makanan kaki lima saja.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, secara alami memiliki potensi bahan pangan yang melimpah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan lokal mulai dari karbohidrat, protein dan sumber nutrisi lainnya. Perlu adanya peran dari berbagai pihak untuk memperkenalkan pangan lokal supaya lebih bisa bertahan ditengah modernisasi mulai dari pemerintah yang mendukung program secara top down dan lapisan masyarakat yang dapat berperan secara kultural menularkan gerakan pangan lokal. Program pemerintah dalam mendukung pangan lokal telah dilakukan Pemerintah DIY Yogyakarta lebih dahulu dengan membuat program Gerai Pusat Informasi Dan Edukasi Pangan Lokal pada tahun 2013. Program ini merupakan program dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi Darah Istimewa Yogyakarta dalam mendukung Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Gerai Pusat Informasi Pangan Nusantara/Pangan Lokal, memuat informasi tentang berbagai macam makanan yang berbahan baku non beras dan non terigu, sebagai upaya percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis potensi pangan lokal diwilayah DIY. Tujuan peningkatan diversifikasi pangan ini adalah untuk memberdayakan masyarakat agar mampu mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang dikuasainya untuk mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Selain dari pihak pemerintah, masyarakat juga dapat mendukung gerakan pangan lokal. Masyarakat dalam hal ini salah satunya adalah  mahasiswa sebagai kaum akademik yang berusaha mengembangkan keilmuan, kreativitas, inovasi dan teknologi yang dapat diterapkan pada berbagai disiplin ilmu dalam mendukung pengelolaan pangan lokal, misalnya dalam bidang pertanian. Seperti yang kita ketahui, sumber bahan pangan yang ada di Indonesia sebagian besar berasal dari sektor pertanian, sektor perikanan dan sektor perkebunan. Sedangkan masih banyak permasalahan terkait dengan sektor-sektor tersebut. Secara struktural permasalahan yang muncul diantaranya yaitu pengelolaan lahan potensial, sumber daya modal, jumlah petani dan nelayan, proses pengolahan, mekanisme penjualan serta teknologi yang digunakan.
Pengelolaan lahan pertanian potensial yang semakin banyak dialihfungsikan, menyebabkan semakin sempitnya lahan untuk menanam padi, alhasil impor beras masih dilakukan oleh Indonesia. Selain itu, kedelai juga masih impor. Pentingnya luas lahan yang memadai akan mendukung produksi sumber pangan lokal seperti padi, jagung, dan kedelai guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk Indonesia. Berkurangnya luas lahan potensial  juga akan menurunkan produktivitas hasil panen baik lahan pertanian maupun perkebunan. Kurangnya modal untuk mengembangkan potensi pertanian, perkebunan dan perikanan menjadikan sektor-sektor tersebut belum dianggap penting dibandingkan dengan sektor industri yang dianggap dapat lebih menggerakkan perekonomian nasional. Aliran investasi untuk sektor yang lebih merakyat ini  pun sangat terbatas. Seharusnya ada akses yang mudah untuk memperoleh permodalan khususnya untuk mendukung pengadaan teknologi yang digunakan.
Jumlah petani dan nelayan juga menjadi pemicu ketahanan sumber pangan lokal di Indonesia semakin terancam. Jumlah petani gurem di Indonesia yang masih banyak juga menjadi salah satu permasalahan dalam produksi sumber pangan lokal. Petani gurem adalah petani yang hanya menggarap lahan tidak lebih dari 1 hektare. Sedangkan masih banyak pula jumlah buruh tani yang menggantungkan hidupnya pada pertanian. Pada sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap, jumlah nelayan setiap tahunnya semakin berkurang, pada tahun 2013 saja terdapat 225 kematian nelayan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ketidakamanan peralatan penangkapan ikan di laut. Masalah lain muncul pada proses pengolahan yang memang masih jauh dibawah standard, seperti halnya produksi ikan kaleng di Indonesia yang masih kalah jauh dengan Thailand. Biaya distribusi perikanan khususnya hasil tangkapan ikan juga lebih mahal 60% dibandingkan dengan negara lain. Sehingga pada akhirnya terdapat jurang margin keuntungan yang cukup jauh yang sangat menekan pendapatan nelayan dan petani di Indonesia.
Aspek yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah penerapan teknologi dalam pengelolaan potensi sumber pangan lokal Indonesia. Seperti yang kita ketahui, teknologi pertanian yang digunakan di Indonesia masih sangat terbatas. Masih banyak petani di pelosok negeri ini yang hanya mengandalkan tenaga hewan dan tenaga manusia. Dari sisi percepatan tentunya akan sangat tertinggal dalam perolehan kuantitas hasil panen. Untuk membajak sawah saja masih ada yang menggunakan kerbau. Tenaga manusia masih sangat dominan dalam pengolahan lahan, seperti halnya dalam proses penanaman dan juga perawatan hama, masih banyak yang menggunakan tenaga manusia dengan cara mencangkul meskipun tidak sedikit pula yang menggunakan traktor dalam prosesnya. Di bidang perkebunan, untuk komoditas tebu misalnya, belum ada teknologi yang langsung digunakan oleh petani Indonesia ketika masa panen. Proses pembersihan batang tebu dari daun yang kering masih dilakukan secara manual. Teknologi memang memegang peranan yang cukup penting dalam suatu proses produksi. Sama halnya pada proses produksi di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan yang memang menjadi sumber bahan pangan lokal di Indonesia.
Permasalahan tersebut diatas menjadi sangat kompleks ketika tidak dibarengi dengan solusi yang langsung tepat sasaran mengarah pada permasalahan hilir seperti permasalahan petani dan nelayan. Karena dari merekalah sumber-sumber pangan lokal Indonesia dihasilkan, apa jadinya apabila jumlahnya semakin berkurang belum lagi ditambah dengan permasalahan alih fungsi lahan potensial dan tidak adanya penerapan teknologi tepat guna di bidang tersebut. Pemberdayaan masyarakat petani dan nelayan diperlukan dalam hal ini. Perlu adanya dukungan akses permodalan untuk mendapatkan teknologi yang dibutuhkan dalam proses pengelolaan produksi sumber pangan lokal. Sehingga bantuan tidak hanya sebatas pemberian tetapi juga dalam bentuk transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, artinya tidak hanya memberi umpan, tetapi juga memberikan kailnya.

Peran Mahasiswa dalam Ketahanan Pangan Lokal
Tanggal 18 Mei 2014 serempak di sembilan kota di Indonesia dilaksanakan Kampanye Nasional Go Pangan Lokal. Sembilan kota tersebut adalah Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Medan, Bandung, Makassar, Samarinda dan Jambi. Kampanye Go Pangan Lokal ini diprakarsai oleh Masyarakat Ilmu Pengetahuan dan Tekonolog Indonesia (MITI). Semua perguruan tinggi yang ada di sembilan kota tersebut dapat ikut serta dalam kampanye ini. Namun, ditengah seruan aksi kampanye, adakah mahasiswa yang terbesit untuk beraksi lebih nyata, bukan hanya menjadi konsumen tetapi produsen pangan lokal?
Bentuk kampanye Go Pangan Lokal yang banyak disuarakan melalui media sosial oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi  menyatakan bahwa melalui aksi Go Pangan Lokal, pangan lokal dapat bersaing ke dunia Internasional. Pertanyaannya, apakah cukup dengan kampanye seperti itu pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pangan lokal dapat meningkat? tentu tidak. Selain melalui kampanye Go Pangan Lokal, mahasiswa juga dapat berperan dalam pemanfaatan sumber daya pangan lokal yang ada. Melalui program-program penelitian dan pengabdian, mahasiswa dapat menyumbangkan gagasan untuk mendukung diversifikasi produk pangan lokal.
Berbagai ide bisa dituangkan oleh mahasiswa, banyak peluang menulis karya tulis ilmiah untuk menghasilkan gagasan yang aplikatif serta solutif sebagai bentuk sumbangan nyata terhadap permasalahan yang ada. Tetapi yang masih menjadi pertanyaan adalah tindak lanjut dari pemikiran dan inovasi cerdas anak bangsa yang belum dijembatani untuk menjadi sebuah solusi yang nyata. Misalnya ide teknologi yang belum didukung penerapannya. Artinya perlu ada kerjasama dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, mahasiswa dan perusahaan sehingga mendukung penciptaan karya berupa teknologi terapan, mekanisme ide ataupun sumbangan kebijakan yang memang pro-rakyat kecil, khususnya yang berkaitan dengan pangan lokal di Indonesia.
Sudah saatnya mahasiswa peduli dengan sektor-sektor riil yang memang banyak ditemui di Indonesia. Permasalahan yang muncul di bidang Pertanian, Perkebunan dan Perikanan, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah yang bersangkutan atau mahasiswa di program studi yang bersangkutan. Bahkan Indonesia kedepan juga menantikan petani-petani dan nelayan-nelayan hebat yang memang didukung dengan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tersebut. Secara keras dapat dikatakan bahwa mahasiswa yang beraksi mengkampanyekan gerakan pangan lokal belum tentu dirinya ingin menjadi petani. Oleh karena itu, peran mahasiswa dalam mempertahankan pangan lokal juga bisa dimulai dari sekarang, tentunya juga dengan bantuan dari perguruan tinggi, pemerintah melalui kebijakan, program dan gerakan, serta pihak swasta dan komunitas terkait yang dapat mendukung dalam menjembatani inovasi dan teknologi untuk mempertahankan pangan lokal.

Anis Susanti
Mahasiswa Pendidikan Ekonomi (Administrasi Perkantoran)
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang